Showing posts with label Private Emotion. Show all posts
Showing posts with label Private Emotion. Show all posts

Saturday, January 15, 2011

Dan tiba-tiba mimpi itu terasa sangat jauh.

Pagi menyeruak membawa guyuran hujan bersamanya. Ada riak kegelisahan yang tiba-tiba menggeliat, ada sunyi yang tiba-tiba merasa menghimpit. Mengapa semua ini terjadi lagi?

Mungkin benar saya yang salah. Membiarkan pikiran menjajahku sekali lagi. Membiarkan diri sendiri terbawa pada bayangan yang tidak mungkin jadi kenyataan. Tapi mengapa semuanya terasa sesak didalam dada? Mencoba berpikir dan mengingat, apa yang sebenarnya yang telah terjadi dalam hidupku?



Entahlah. Mungkin benar saya yang kalah. Kegamangan itu terasa besar. Seakan-akan membawa menjadikan diri hanya sebuah selongsong yang berjalan. Tak berjiwa, dan tak bermimpi. Apa yang harus saya lakukan dikeesokan hari?

Pelan-pelan saya mencoba merunut. Mencoba melihat kembali, bagaimana saya telah tiba dititik ini. Bagaimana saya telah meninggalkan jejak dimana-mana. Bagaimana diantara semua keriuhan itu, tiba-tiba timbul satu kesadaran, “bagaimanapun kau berusaha, kau akan tetap sendirian. Jadi untuk apa berusaha terlalu keras dengan semuanya?”.

Bertahun-tahun yang lalu, ketika pikiran ini muncul. Dimana bertahun-tahun sesudahnya saya berusaha bangkit dan berusaha melawannya. Mencoba melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda, mencari jawab dari setiap pertanyaan. Tapi saya selalu terhantam di posisi yang sama. Sendiri. Lantas apa yang harus saya lakukan berikutnya? Entahlah. Bahkan bermimpi pun saya tidak berani lagi.

I wish I hadn't seen all of the realness
And all the real people are really not real at all

The more I learn the more I learn
The more I cry the more I cry
As I say goodbye to the way of life I thought I had designed for me

Then I see you standing there
Wanting more from me
And all I can do is try

Then I see you standing there
I'm all I'll ever be but all I can do is try

(Nelly Furtado - Try)

Sunday, January 9, 2011

Rindu

Pada malam setengah tua
pada riak gerimis yang memecah
Kenapa ada sepi yang teramat?
Merindu pada cumbu suara yang selalu ada
Menemani sebagai pelepas hari

Apa kabarmu disana?
Aku rindu...

Friday, December 24, 2010

Tentang Hujan dan Sekeping ingatan yang memudar

Setiap perjalanan memiliki akhirnya sendiri. Bahkan setiap tahun selalu akan berjumpa dengan Desember. Hari ke 25 di bulan ini, bagaimana kabarmu?

Entah kapan kali terakhir saya menuliskan keluh kesah di tempat ini. Bukannya tidak ingin berbagi, tetapi hanya tidak ingin mengakui saja, bahwa ada banyak emosi yang terkuras, ada banyak perasaan yang terpendam. Semuanya berujung pada kelelahan yang teramat sangat. Semuanya terbendung tanpa pernah teralirkan. Bahkan air hujan pun akan mengalir ke berbagai tempat. Kenapa satu perasaan saja begitu sulit untuk tercurahkan?



Saya kemudian mengingat perkataan bodoh itu, yang saya ucapkan dan ditujukan kepada diri sendiri. Bahwa ketika saya mengakui perasaan tersebut, saya akan terlihat lemah. Sudah lama saya berhasil menyembukan setiap lapisan perasaan. Setiap sepi, setiap gundah yang ingin keluar. Semuanya tersimpan rapi. Tapi itu malah mengerogoti saya dari dari dalam. Dengan keadaan yang lebih parah.

Pada hujan di bulan Desember tahun ini. tersimpan banyak cerita. Tersimpan banyak perih yang terhujam dalam keseharian. Kenapa harus mengeluh? Bukankah itu konsekuensi dari setiap pilihan yang dibuat? Begitulah adanya. Tapi saya juga manusia. Yang mempunyai rasa lelah, jenuh dan muak. Sepertinya semua hal terbendung dan menjadi satu titik kulminasi yang melelahkan.

Tentang pekerjaan, saatnya membenarkan hati lagi. Karena inilah pekerjaan yang sudah dipilih. Memang dalam beberapa minggu terakhir, semuanya terasa memuakkan. Kerjaan yang seperti tidak ada habisnya. Malam-malam panjang yang tidak terarah. Istirahat yang tidak pernah cukup, menjadi satu dalam bentuk kebencian dan penyesalan. Mengapa saya mengambil pekerjaan ini? hati-hatilah beruang. Karena sebuah pikiran bisa begitu membahayakan. Begitulah keadaannya. Ini hanya satu salah satu skenario. Bertahanlah sampai keadaan berubah. Berhenti untuk membandingkan dengan orang lain, karena semua orang sudah memiliki jalan takdirnya sendiri. Cukup urusi hati sendiri dan semuanya akan baik-baik saja.

Mengenai hati, mungkin inilah persimpangan terbesar yang pernah terjadi. Ketika saya harus benar memutuskan, kemana akan melangkah. Selama ini, kata menikah tidak pernah sekalipun terlintas. Tapi sekarang? Ini menjadi salah satu hal yang menjadi prioritas. Mengapa? Karena saya membutuhkan orang lain untuk berbagi dan melewati hari. Sudah saatnya mengakhiri semua kisah platonis yang tidak tentu arah. Bukankah hidup akan mencari akhirnya sendiri?

Tentang teman. Semua berubah. Waktu berubah. Tempat berubah. Bukankah itu yang dari dulu selalu diyakini? Semua akan mencari hidupnya sendiri-sendiri. Untuk apa merisaukan hal ini. Teman akan datang dan pergi. Ada waktunya ketika lingkaran hidup akan berdampingan, berisisian, sampai akhirnya melepaskan kembali. Memilih jalan ceritanya masing-masing. Semuanya sisa terangkai dalam memori yang bernama kenangan.
Hujan di bulan Desember. Tidak usah bersedih dengannya. Karena drama itu pasti terjadi. Semua hidup akan berganti, seperti hari yang akan terus terjalani. Berhenti mengeluh, dan lihatlah dengan kacamata yang lebih baik. Karena memendam resah akan membuahkan hari yang gelisah. Selamat datang hujan, usaplah kenangan ini menjadi sebuah kenangan yang akan menjadi pelajaran di keesokan hari.

Image by Ahermin

Sunday, December 12, 2010

Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah)

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

29 : Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan. 30 : Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Monday, November 15, 2010

Road to Jakarta #3 : Surat kepada L

Tahukah kau L, sudah 15 hari semenjak pertengkaran kita berlalu. Akupun sudah meminta maaf kepadamu. Tapi sepertinya memang ini yang terbaik. Ketika saya belum bisa menjadi dewasa, dan menyelamatkan hubungan kita.


Tahukah kau L, di hari itu saya menjadi orang paling egois sedunia. Ketika perjalanan puluhan ribu kilometer yang kutempuh, tidak bisa menyisakan sedikitpun waktu untukmu. Saya, yang merasa ingin tertawa bersama teman-teman saya. Menggelandang dari satu tempat ke tempat yang lain di kotamu.

Tahukah kau L, sepertinya ada yang salah di hatiku. Entah apa, saya pun tidak bisa memberitahukannya kepadamu. Apakah memang cinta itu seperti sebuah kembang api? Hanya terlihat indah ketika terbang menanjak dan kemudian menyemburkan cahaya indahnya. Setelah itu? Hanya bangkainya yang tersisa. Terjatuh dan tersembunyi dalam pekatnya malam.

Tahukah kau L, mungkin memang hidupku yang sedang tersesat saat itu. Ketika saya dengan mudahnya melupakanmu. Melupakan hasratmu yang telah tersimpan selama beberapa bulan. Sejak pertemuan terakhir kita di bulan Agustus. Entahlah L, kenapa bisa hatiku menjadi sedingin itu. Apakah memang jarak yang menjadi pemisah yang sangat tampak?

Tahukah kau L, bahwa memang saya, pada hari itu dikuasai oleh euphoria kebebasan. Ketika saya bisa menjadi diri sendiri, diantara teman-teman saya. Tetapi juga, saya harus sedikit menjaga image. Maklum saja, ada beberapa orang yang baru saya kenal. Dan begitulah memang sistem pertahanan diri saya, berusaha menjauh dan memasang dinding penghalang di setiap tingkah dan perilaku.

Tahukah kau L, di hari itu, ada banyak keadaan yang diluar kuasaku. Niat yang tadinya untuk bersenang-senang, ternyata berubah menjadi tidak nyaman. Semua atas dasar kesetiaan kepada teman. Walaupun saya akhirnya berpikir, untuk apa saya datang ke tempat itu. Hanya untuk membuktikan diri bahwa saya ada? Saya setia?

Entahlah L, entahlah. Yang jelas disinilah posisi kita sekarang. Sejak hari itu pertengkaran demi pertengkaran kita lalui. Ada yang tidak bisa kau mengerti dalam diamku. Maafkan saya L, begitulah saya. Ketika sejuta gulana meraja. Lebih baik saya diam, menunggu keadaan membaik dan memperbaiki semuanya satu persatu.

Entahlah L, entahlah. Ketika kau bertanya apakah saya bisa berubah. Semua sistem ini tidak berlangsung dalam semalam. Sayapun terus berusaha. Untuk membuka hati, membuka diri. Tidak menjadi sebuah toples yang isininya terlihat dari luar tapi tidak bisa dipegang isinya. Pelan-pelan L, mungkin waktu akan mengajariku untuk berubah.

Disinilah kita L, 15 hari berlalu sejak 30 Oktober. Hari yang mungkin tidak akan kita lupakan. Ketika saya melupakan sosokmu yang selalu menjagaku. Menopangku ketika saya sedang jatuh. Mun gkin memang saya lupa L, pada semua kebaikanmu. Dan keegoisan sangat menguasai hatiku. Egois karena kemerdekaan hidup terenggut oleh komitmen yang bernama hubungan.

Disinilah kita L, menjadi dua individu yang terpisah lagi. Biarlah saya menjalani dulu jalanku, supaya lebih berdewasa. Biarkanlah saya mencari dulu apa yang saya inginkan. Karena mungkin hatiku yang sudah kosong dan telah terbiasa kosong. Sehingga ketika ada seseorang yang mengisinya, rasanya menjadi aneh.

Maafkan saya sekali lagi L. saya belum bisa menjadi seseorang yang baik untukmu. Baik-baik disana. Jangan menangis lagi untukku. Karena saya tidak pantas untuk itu.

Image credit to MalvaAlcea

Friday, October 29, 2010

Malam-malam tak berjejak

Ada suatu ketika saya ingin menghabiskan malam seperti ini.
Menembus malam dan bersisian dengan kemacetan.
Huru-hara jalanan yang membuat manusia terkadang lupa pada sesamanya.
Semuanya ingin laju dan terlebih dahulu.

Pada gedung-gedung bertingkat.
Membuat batas antara langit menjadi semakin dekat.
Tapi kenapa justru seperti perasaan terperangkap?
Kanan, kiri, depan, belakang, semuanya serupa.

Ada pula keriuhan yang terdengar.
Dari balik-balik meja yang terhampar rapi.
Terdengar pula cerita-cerita dari mereka.
Yang mencoba menggauli hari.

Tapi lantas kenapa ada sepi yang menyeruak?
Tiba-tiba aku merindukan teman-temanku lagi.
Yang bisa dengan seenak hati tertawa.
Yang bisa dengan seenak hati kutemui.

Entah apakah keinginan itu masih ada.
Untuk hidup dan berjalan disini.
Karena rasanya semua malam menjadi tak berjejak.
Hilang dalam tempias riuhnya kota.

(Episentrum Walk, 29 Oktober 2010)

Tuesday, October 12, 2010

(Lagi) Tentang Hubungan

Hidup ini terus berjalan. Seperti sebuah garis konstan yang berjalan lurus. Semuanya memiliki awal dan harus berakhir. Dimana setiap titik perpotongan mungkin akan membuahkan satu cerita. Ketika setiap persimpangan membuahkan sebuah pilihan. Dimana hidup menyapamu saat ini?


Seperti sebuah titik tengah sebuah pentagon, saya harus membagi rata semua pikiranku. Membuat kembali merasa normal. Membuat emosi menjadi stabil. Saat semua orang menumpahkan semua permasalahannya di telingaku. Kali ini saya tidak boleh terpengaruh, karena semuanya mengusung tema yang menjebak. Perasaan, hubungan, komitmen untuk bersama dan menjadi pasangan.

Seorang teman mengikuti kata hatinya. Untuk sedikit bermain api di dalam hubungan yang dijalaninya. Ketika api itu semakin besar dan tidak bisa dia kendalikan, akan kemanakah drama yang akan terjadi? Saya kira perjalanan menempuh ratusan kilo ke tanah kelahiran sang pacar tidak bisa dianggap remeh. Tentang kejelasan dan alasan mengapa dia melakukan semua itu. Ketika tumpahan amarah dan luapan kekesalan semuanya bisa terhapus dengan sebuah kata maaf. Semuanya untuk satu tujuan yang lebih baik, membuat hubungan semakin kuat kedepannya.

Seorang teman lagi juga terlihat semakin bijak melihat hubungannya. Konsep berkeluarga yang diusungnya mungkin terlalu cepat. Apalagi mereka belum terikat dengan sebuah janji sacral. Tapi dia menikmatinya. Raut wajahnya ketika bercerita setiap konflik yang terjadi, menggambarkan dia sudah sangat siap dengan konsekuensi yang diambilnya. Kematangan berpikir yang pastinya tidak akan dimiliki oleh semua orang. Satu yang sangat saya syukuri adalah dia tidak merasa hilang lagi seperti dulu. Dia sudah menikmati hidup dan menjalani pilihan hidupnya. Mengenai apa yang dilakukannya, itu adalah hak dia, saya hanya bisa mendengarkan dan menjadi teman berbagi yang setia.

Semuanya membuatku kembali berpikir, apakah memang semua perjuangan itu layak dilakukan? Untuk berkompromi dan membentuk suatu hubungan? Seperti sebuah sajak yang paling perih sepertinya permasalahan mengenai hubungan tidak akan pernah selesai. Karena ada dua kepala yang harus disatukan. Ada 2 ego yang harus dilebur untuk membentuk konsensus bersama bagaimana menjalani hidup.

Tidak semua orang bisa seberuntung itu. Memiliki riak-riak dalam menjalani hubungan. Seringkali saya berpikir, sebenarnya yang mana lebih baik? Sebuah hubungan yang penuh dengan drama, ataukah sebuah hubungan yang bisa dikatakan adem ayem saja. Ketika semua ritual hubungan dilakukan, makan malam, nonton, ngobrol tentang keseharian. Apakah itu tidak akan sangat membosankan?

Bagaimana dengan saya? Entahlah. Sayapun masih terus mencari dan bertanya pada diri sendiri. Apakah saya sudah siap? Apakah saya sudah harus bermain didalam konteks itu? Dimana saya harus memilih dan berpikir tentang sebuah hubungan. Karena jujur, ini tidak pernah terlintas dengan kepalaku. Ketika pilihan seperti ini semestinya sudah keluar 6 atau 7 tahun yang lalu, saya baru mengalaminya. Sehingga semua galau dan euphoria mengenai perasaan seringkali bertengkar hebat dengan logika.

Akan kemanakah pilihan ini akan berjalan? Masih ada esok yang akan menanti. Masih ada kompromi yang pasti akan terjadi. Tapi saya sudah memastikan diri, bahwa saya sudah siap. Siap untuk hubungan yang entah akan berujung kemana. Semoga semuanya akan baik-baik saja. Amin.

Soundtrack untuk postingan ini : Regina Spektor - Us



image, ngembat disini.

Wednesday, October 6, 2010

Seperti album foto itu

Sejak dulu saya bukan jenis orang yang layak tampil di depan kamera. Selalu ada yang mengusik pikiran,

"bagaimana rupa saya? bagaimana gaya saya?"


dan ini sudah berjalan bertahun-tahun. Bahkan di rumah pun, tak kan kau temui satu buah foto pun terpampang di dinding rumah. Entah sejak kapan tradisi ini berlangsung. Seingatku foto terakhir yang terpampang adalah foto jaman TK sewaktu festival 17 Agustus. Dengan dandanan baju adat lengkap dengan kumis palsu. Tapi semuanya sudah tersimpan rapi. Pernah sekali saya menemukan, semua album foto itu. Tersimpan rapi dalam laci di lemari Bapak. Berada di sudut tergelap tanpa pernah tersentuh lagi.



Padahal ada banyak cerita yang terekam dari perjalanan sebuah foto. Bagaimana rupa berganti, bagaimana senyum berubah. Memasuki masa SMP dan SMA tidak cukup banyak gambarku terekam dalam kutipan. Saat itu teknologi pun belum terlalu canggih. Sebuah roll film yang harus dikonversi dalam bentuk negatif dan kemudian diolah lagi menjadi selembar foto.

Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah memang di masa itu tidak cukup peristiwa yang terjadi? Sebenarnya banyak, cuma saya saja yang belum terlalu berani untuk mengekspresikan diri. Belum merasa nyaman dengan diri sendiri.

Sekarang semuanya terasa lebih nyaman. Ketika saya bisa menyimak perjalanan dan peristiwa yang terjadi dalam hidupku melalui selembar foto atau sepotong gambar. Berbagai tempat, beragam orang, dimana saya berinteraksi dengan mereka. Karena sekali lagi semuanya mewakili emosi dan memiliki ceritanya sendiri.

Satu keinginan saya adalah membuat satu frame besar dan menampilkan semua foto-foto itu. Dimana mungkin didalamnya akan kautemukan salah satu wajahmu disana. Karena itulah arti hidup, ketika kau mengisinya bersama teman semuanya terekam dalam satu gambar.

Monday, September 13, 2010

Keluarga dan 101 masalahnya.

Semalam saya bertemu dan berbincang dengan seorang teman. Teman yang dari dulu masih terus berhubungan untuk hal-hal remeh dan tidak penting. Teman yang sepertinya akan berubah statusnya menjadi sahabat. Teman yang telah mempercayakan satu rahasia tergelapnya ke tanganku.


“apa yang terjadi dengan keluargamu Qko? Kenapa kamu masih bisa melewati semua hal itu dan masih bisa tersenyum? Sedangkan saya, rasanya ingin lari dari semua ini.”


Itu yang bisa saya tangkap dari nada suaranya yang semakin sendu. Helaan napas yang berkali-kali terdengar membuatku bisa mengerti bagaimana posisinya. Bahkan tawa yang terdengar pun menjadi getir. Segelas Avocado Coffe tidak bisa menghilangkan gundahnya. Apa yang terjadi dengan keluarganya?



Tahukah kau kawan bahwa setiap keluarga memiliki kehidupan dan masalahnya masing-masing? Tahukah kau bahwa keluarga atau rumah merupakan elemen paling dasar yang membentukmu untuk berperangai? Tahukah kamu bahwa tidak semua rumah memiliki setiap senyum bahagia? Semuanya memiliki konflik sendiri-sendiri.

Sayapun hanya bisa terus mendengarkan setiap perkataannya. Setiap episode drama yang terjadi dirumahnya. Sesekali saya menimpali di momen yang tepat, sekedar memastikan bahwa saya mengikuti alur pembicaraannya. Bahwa saya mengerti perasaannya. Bahwa saya pernah berada di posisi itu. Ibu yang mau berpisah dengan bapak? Itu hanyalah salah satu episode dalam drama keluargaku dan saya telah melaluinya.

Mungkin Tuhan sangat menyayangi keluargaku. Sehingga dia berungkali memberi kami perhatian yang berlebih. Begitu banyak drama yang terjadi. Air mata yang telah tumpah. Ketika diumpamakan seperti vas bunga, mungkin bentuknya sudah tidak seperti dulu lagi. Pincang sana sini. Lecek sana sini. Tapi kami berhasil menempel setiap keping yang pecah itu. Berhasil menjadi lebih kuat di setiap peristiwa. Lari dari rumah? Saya sudah melakukan itu 7 tahun yang lalu. Tapi saya selalu bisa kembali. Selalu ada kekuatan dan kenyamanan ketika saya berada di rumah.

Kenyataannya itulah ritme yang terjadi dalam keluargaku. Ketika dalam setahun tidak ada drama yang terjadi, maka ada sesuatu yang tidak beres. Aneh memang, tapi kalau itu memang yang harus terjadi? Kau mungkin tidak akan pernah melihat kami sekeluarga hangout bareng, sekedar pergi membeli furniture rumah atapun baju lebaran. Tapi itu sudah menjadi sebuah pola, sebuah keterbiasaan. Mungkin berbeda dengan yang terjadi di rumah orang lain, tapi itulah yang terjadi dirumahku.

“Apa yang harus saya lakukan Qko? Tidak mungkin saya membiarkan masalah ini berlarut-larut”

Setelah puas menumpahkan semua keluh kesahnya dia mulai meminta pendapat. Memikirkan berbagai alternatif jalan keluar. Saya pun hanya bisa berkata, hanya satu jawaban untuk permasalahan keluarga. Kau harus frontal menghadapinya. Dan kau harus siap dengan semua konsekuensinya. Bersiaplah untuk kemungkinan terburuk.

Mungkin sepertinya akan sulit dilakukan. Apakah kau akan tega berbicara sejajar dengan orang yang telah melahirkanmu? Mengajari mereka tentang sebuah kesalahan? Yah, saya telah melakukannya. Dan itu wajar-wajar saja. Sulit memang, daripada menanggung sakit yang terus bertahan selama menahun? Yang pelan-pelan menghasilkan isak tangis tengah malam, yang membuatmu merasa rumah laksana perwujudan sebuah neraka. Lebih baik satu kali konfrontasi, sakit memang. Tapi semua masalah selesai dan tidak ada yang tersimpan.

Satu persatu lampu penerangan halaman mal tersebut dimatikan. Posisi kami telah berganti dari kedai kopi karena kedai tersebut sudah akan tutup. Kini kami hanya duduk berdua di teras mall tersebut. Menunggu temanku untuk memantapkan langkah dan menjadikan saya sebagai batu pijakannya lagi. Majulah teman, mungkin kamu yang harus berkorban untuk episode ini. Mungkin kamu yang harus berjuang untuk masalah ini. Semua ada jalan keluarnya. Kamu masih ingin melihat keluarga kamu berada dalam satu rumah kan?

Pelan-pelan kami beranjak ke tempat parkir. Dia telah menentukan sikap. Bagaimana dia harus menghadapi hari-harinya. “Jangan pernah lari dari masalah. Karena kau akan berdewasa dengannya”. Setidaknya itu satu pesan terakhir saya. Sekeluar dari tempat parkir kami pun berpisah jalan. Dia pulang kerumahnya, dan saya pulang ke rumahku. Berjuanglah teman!

*saya mendengarkan Frankie J – Daddy’s Little Girl, Gevin DeGraw – Follow Through dan Kevin Rossdale – Love Remains The Same ketika menulis postingan ini.

Friday, September 10, 2010

Ramadhan kali ini.

Saya kalah. Itu saja yang ingin saya katakana. Ternyata saya kalah pada kesenangan dunia. Ternyata saya kalah pada hawa nafsu. Dan saya merasa tidak mendapatkan berkah ramadhan kali ini. Semuanya berlalu sekejap mata. Tidak ada yang berarti. Tidak ada yang berkesan.

Masih teringat sebulan yang lalu ketika Ramadhan datang mendekat. Saya menyambutnya dengan euphoria berlebihan. Memiliki segudang rencana ini dan itu. Akan begini dan begitu. Nyatanya? Semua tidak berjalan dengan lancar. Sepertinya memang saya harus menyambut Ramadhan biasa saja. Lebih dikuatkan pada niat, dan bukan pada rencana.

Apa yang terjadi dengan Ramadhan ku? Entahlah. Saya pun tidak dapat menjawabnya. Ketika tahun lalu saya diuji dengan sebuah kesusahan, dengan patah tulang dan bebat dimana-mana. Ternyata saya bisa melaluinya. Kali ini Tuhan menguji lagi. Bukan dengan kesusahan, tapi sebuah kesenangan. Kesenangan duniawi akan pekerjaan dan eksistensi. Dan ini yang saya belum bisa lolos darinya.

Saya yang mempunya waktu untuk jalan kesana kemari. Mengurus ini dan itu, mengerahkan setiap tenaga dan kemampuan, justru bahkan bangun untuk Shalat Subuh pun sulit kulakukan. Ketika saya mampu nongkrong sampai tengah malam bersama teman-teman, tapi kenapa bahkan satu rakaat terawih pun sulit kutegakkan?

Begitulah cobaan di dunia ini. Saya masih mengingatnya dari ceramah agama di waktu yang lampau. Bahwa Tuhan tidak akan mengujimu dengan kesusahan saja. Tapi dia akan mengujimu juga dengan kesenangan, dan biasanya inilah ujian yang paling berat. Karena di saat susah, kita akan sangat gampang merasa dekat dengan Tuhan. Sedangkan di saat senang? Kita akan berubah menjadi manusia pongah tidak tahu diri.

Ada satu kesyukuran ketika saya masih diperkenankan untuk bertemu dengan Idul Fitri tahun ini. Sebuah bentuk perayaan atas kemenangan melawan hawa nafsu. Tapi mungkin perjuangan saya tahun ini tidak maksimal. Dan saya menyadarinya dengan sepenuh hati. Bahwa memang saya telah kalah.

Panjangkanlah umur ini ya Rabb. Untuk bertemu dengan Ramadhan mu lagi di kali yang akan datang. Yang akan siap dengan semua ujianmu. Yang akan menyambut hari kemenangan dengan satu senyum tersungging di bibir, bahwa saya telah mampu melewati perang yang paling besar. Perang melawan hawa nafsu.



Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H. Minal Aidin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.

Friday, May 21, 2010

#3 - Radio



So I listen to the radio (listen to the radio)
And all the songs we used to know (listen to the ...)
So I listen to the radio (listen to the radio)
Remember where we used to go

(The Corrs - Radio)

Thursday, May 6, 2010

Life’s never been better than this.

Semalam saya banyak mengobrol dengan seorang sahabat. Dia yang pernah mengisi jejak dan menjadi peneman langkah yang sangat setia. Walaupun dia juga sedang mecari mimpinya di kota yang berbeda, setidaknya tetap ada keakraban yang erat ketika mendengar suaranya.

Topic pembicaraan kami? Apalagi kalau bukan saling bertukar kabar. Mengenai peristiwa yang terjadi di rumah dalam 2 minggu ini. Bagaimana saya mengatasinya, dan bagaimana saya melanjutkan hari-hari saya. Karena apapun yang terjadi, pasti dia tahu. Dia yang selalu ada baik hati dan perasaan. Saya pun menanyakan kabarnya. Bagaimana hidupnya, dan bagaimana rencananya kedepan. Oh, I really miss her voice around here!

Satu topik yang selalu menjadi bahan favoritnya adalah bagaimana keadaan hati saya. Bagaimana saya menjalani hidup. Saya pun cuma bisa berkata, “life’s never been better than this”. Dititik inilah saya menyenangi diri saya apa adanya. Tanpa perlu khawatir apa yang akan dikatakan orang. Saya menghargai apa yang ada di dalam kepala.



Seriuh dan serusuh apapun dalam kepala, saya tetap bisa mengendalikannya. Bahkan ketika hal-hal liar mulai berkecamuk dan bergejolak lagi. Bedanya dengan dulu, sekarang saya menjadi sutradara untuk diriku sendiri. Menjadi penentu apa yang kurasakan atau yang ingin kurasakan. Berbeda dengan dulu, dimana saya selalu merasa butuh tangan seseorang, butuh panduan seseorang untuk sejenak menemaniku. Sekarang saya sudah bisa menjalaninya sendiri.

Sampai pada titik ini. Yes, I’m proud to be my self. Dengan semua statementku. Dengan semua pengakuan diri. Dengan semua keseharianku, this is the way I am. Mungkin sebagian orang akan menganggapnya bodoh. Begitu terlambatnya kah saya menyadari dan bangga bahwa diri sendiri begitu spesial? Tapi bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?

Pelan-pelan diri ini semakin berdewasa juga, dalam pikiran dan tindakan. Karena setidaknya itulah yang harus dilakukan. Kita tidak mungkin menjadi orang yang sama dengan kemarin kan?

Monday, May 3, 2010

Siapkah kita ketika hari itu datang?

Bagaimana rasanya ketika kau kehilangan seseorang dalam hidupmu? Seseorang yang sangat berarti. Entah mengapa pikiran itu sejenak terlintas di kepala. Apakah saya akan masih bisa melanjutkan hidup? Mengingat bahwa masalah umur dan hidup tidak ada yang pernah tahu rahasianya. Dan drama inilah yang terjadi dalam kepalaku saat ini. Bahwa saya kehilangan seorang sahabat di dunia. Kehilangan dalam artian sebenarnya, bahwa dia telah kembali ke sang Khalik.

Sekali saya pernah berada dalam posisi ini. Ketika saya merasa sangat dekat dengan seorang sahabat. Saya bercerita apapun kepadanya. Dia pun demikian. Barulah ketika saya mengetahui bahwa dia mengidap penyakit yang sangat parah, saya semakin sayang kepadanya. Menjadi teman yang selalu ada dan selalu setia. Tapi ternyata kenyataan yang ada berubah. Alasan sakitnya itu ternyata hanyalah sebagai alat dan senjata saja. Untuk memperoleh perhatian dari perempuan yang dicintainya. Berharap mereka akan berempati seperti apa yang saya rasakan. Tapi sejak itu pula, saya mulai sedikit kehilangan respek tentang penyakitnya. Karena kepada saya, dia tidak berkata sebenarnya. Apa yang harus saya percaya?



Sekarang saya berkenalan dengan seseorang lagi. Begitulah hidup. Orang-orang datang dan pergi dari kehidupanmu. Tanpa pernah kita tahu, siapa yang akan menjadi temanmu di keesokan harinya. Berawal dari komentar status di facebook, bertukar cerita melalui inbox message, sampai akhirnya bertukar kabar melalui sms dan telepon. Saya merasa nyaman dengannya. Bertukar cerita mengenai kegiatannya yang menjadi mentor untuk anak-anak yang mengidap autis. Dia pun mendengarkan ketika saya berkeluh kesah mengenai kantor, ketika terkadang beberapa teman tidak mengerti apa yang saya rasakan.


Satu hal yang membuatku kaget adalah, ketika dia menghilang hampir seminggu. Tanpa ada kabar, tanpa ada berita. Kemana dia? Saya berusaha positive thinking. Bahwa mungkin dia sibuk atau lagi apalah. Dan ternyata tebakan saya benar. Dia lagi sibuk. Sibuk di rumah sakit untuk menjalani kemoterapi.


Setelah bercerita kurang lebih hampir sejam, barulah saya tahu semua kabar beritanya. Tahu bagaimana dia menjalani hidup selama ini. Saya pikir, hidup yang didedikasikannya untuk mengajar anak-anak autis sudah sangat membuatku kagum, ternyata ada luka dan pengalaman yang lebih besar dibalik itu. Dimana dia menjalani hidup dengan caranya sendiri, berhenti kuliah untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Menjadi tulang punggung orang tua pada saat sang ayah meninggal. Menjadi “orang luar” di keluarganya sendiri karena dia memilih untuk hidup sendiri dan membiayai hidupnya sendiri.

Seperti alur cerita dalam sebuah film, sekarang saya mengetahui bagaimana kanker otak pelan-pelan menggerogoti hidupny. Semua tabungan dari hasil pekerjaannya hanya habis di rumah sakit saja. Bahkan dia sudah sampai menjual laptop, televisi dan motor untuk menutupi biaya rumah sakitnya. Untuk menjalani sesi kemo dan sesi pengobatan lainnya. Dan ketika saya sendiri sudah sangat sedih mendengar ceritanya, dia masih bisa tersenyum dan tertawa. Berkata memang beginilah hidup yang telah ditakdirkan untuknya.

Kenapa saya bisa merasa sangat dekatnya? Mungkin karena perasaan senasib itu. Dimana kami benar-benar fight dan struggle mengenai isu keluarga dan bagaimana menjalani hidup. Bagaimana kepedihan demi kepedihan terus datang dan kami masih bisa melewatinya. Sampai saat ini kami masih bisa tersenyum dan berkata, bahwa memang kita sudah lulus satu ujian. Tapi apakah kita akan lulus dengan ujian berikutnya?

Sejenak saya malu dengan diri sendiri. Terkadang beberapa keadaan yang tidak nyaman sudah membuatku menjudge hidup. Hanya karena saya harus tinggal di rumah pada sabtu malam, hanya karena saya tidak bisa memakai pakaian yang bagus, hanya karena ini atau hanya karena itu. Saya terkadang lupa bahwa saya lebih beruntung dari banyak orang di luar sana. Saya beruntung masih memiliki kedua orang tua, masih memiliki pekerjaan, dan masih memiliki orang-orang yang peduli kepada saya. Kenapa saya terkadang lupa untuk bersyukur?

Sekarang, apakah saya siap ketika orang-orang terdekat saya akan pergi? Entahlah, saya belum bisa menjawabnya. Tapi pastinya saya sudah harus mempersiapkan hati dan pikiran untuk itu. Bukankah sudah sering diceritakan bahwa dunia ini hanyalah tempat pesinggahan semata?

Saya bersyukur bertemu dengan orang ini. Dia membuatku berpikir tentang apa yang saya miliki. Tentang hidup yang saya jalani. Sekarang saya hanya bisa menjanjikan untuk selalu berada disampingnya selalu. Menjadi teman yang bisa diajak cerita kapanpun. Walaupun dia berada jauh disana. Sedangkan dengan sahabat saya yang satunya? Biarlah dia mencari hidupnya dulu. Karena saya juga pasti tidak mampu untuk melupakan atau mencuekinya, karena dia pernah menjadi penopang dalam satu bagian hidupku. Mari kita syukuri hidup ini dan menjalaninya sebaik mungkin. Sampai hari itu datang dan saat kita tiba untuk kembali kepadaNya.

image diambil dari sini.

Saturday, March 27, 2010

Gravity



Every time I’m ready to leave
Always seem to be
Pullin’ in the wrong direction
Divin’ in with no protection
Man, you can’t keep steerin’ me wrong

(Pixie Lott - Gravity)

Monday, March 22, 2010

Jodoh, dijodohkan, terjodohkan, menjodohkan

Sepertinya blog saya ini sudah memiliki evolusinya sendiri. Tidak terdefenisikan tapi bisa terlihat. Sempat terlantarkan, sempat terlupakan, tapi tetap bisa menjadi sahabat yang bisa diandalkan untuk berbagi cerita. Seperti hidup yang terus mengalir, kali ini ijinkan saya untuk mengenalkan satu fragmen lagi dalam babak kehidupan saya. Terinsipirasi dari catatan Okke dalam blog lajang dan menikah, sepertinya saya akan mulai memasuki fase hidup ini :D

Memasuki bulan kedua di kantor yang baru, tiba-tiba seorang teman dari bagian keuangan bertanya,

“Qko, sudah punya pacar kah?”

Hah? Dari mana kemana maksud pertanyaan ini? Secara setahu saya bahwa sang penanya merupakan istri orang. Lengkaplah saya dengan muka cengengesan tidak tahu mau menjawab apa dari pertanyaan seajaib itu.

Jawaban saya sederhana. Pacar tidak ada, HTS an banyak. Itu jawaban saya dari dalam hati. Tidak mau menyebutkan secara gamblang. Pasalnya waktu itu saya sedang mempertahankan image sebagai pegawai baru dengan akhlak mulia. I’m young, and I’m single. Status apa lagi yang bisa sekeren itu?

Dikemudian hari barulah saya mengetahui alasan dibalik pertanyaan sporadis itu. Ternyata sang teman punya teman lagi yang ingin dikenalkan kepada saya. Berprofesi sebagai suster di lain wilayah Sulawesi Selatan. Niatan awalnya sih cuma diperkenalkan. Tujuan jangka panjangnya? Dijodohkan!



Hah? Pertama, seumur hidup memang rasanya belum ada yang menanyakan hal seserius itu kepada saya. Pacar? Untuk apa? Palingan itu jawab saya. Karena beberapa tahun yang lalu saya memiliki banyak teman (khususnya wanita) yang bisa diajak jalan dan bersenang-senang selayaknya pacaran. Walaupun minusnya kami berhubungan tidak pake hati dan perasaan. Cukup bersenang-senang saja. Dan dulu saya merasa itu cukup. Sekarang? Saya merasa itu kurang. Huhuhuhuhu.

Kedua, dijodohkan? Emang sekarang masih jaman Siti Nurbaya? Saya teringat lagi dengan nasib seorang teman di kantor. Demi mengikuti keinginan ayah tercinta, dia sudah mengikat janji sehidup semati dan siap dinikahkan dengan wanita pilihan ayahnya. Alasannya? Kasihan ayahnya sudah sakit-sakitan. Maunya harus dituruti. Loh, yang mau menikah kan kamu? Bukan ayah kamu?

Ah, ternyata pernyataan saya masih sangat skeptis dan sarkastis mengenai cinta. Apa mau dikata? Saya masih belum berhenti mempercayai bahwa saya termasuk orang yang sulit jatuh cinta. Walaupun salah sendiri, pernah merasa sakit hati dan kemudian merasa trauma untuk menjalin sebuah hubungan yang lain. Pernah sih, ada beberapa orang yang terang-terangan mengirimkan sinyal tertarik. Bahkan dengan bantuan teman-temannya, sang wanita terus melancarkan serangan cintanya. Sikap saya? Malah mengajak salah satu HTS an untuk jalan berdua di depan wanita tersebut, dengan harapan dia mengerti bahwa saya tidak merespon sinyal yang diberikannya. Jahat yah?

Karena menurut saya jodoh itu sudah diciptakan untuk kita di belahan dunia ini. Entah dia terlempar dimana. Hanya butuh waktu dan tempat yang tepat untuk bisa bertemu dengannya. Itu dulu konsep cinta ideal yang ada di kepala saya. Kalau sampai di jodohkan mah, apa dikiranya saya sudah tidak mampu mencari pacar sendiri? Walaupun ternyata jawabannya iya.

Sampai saat ini saya belum memberi jawaban atas pertanyaan teman kantor tersebut. Apakah saya mau dikenalkan dan dijodohkan dengan temannya. Rasanya geli saja. Harus memerlukan bantuan pihak ketiga untuk bisa merasakan cinta. Lantas apa yang harus saya lakukan dengan semua HTS an saya? Hahahaha.

Mungkin akan tiba saatnya dimana saya juga sudah harus berhenti bertualang. Mulai bersikap serius tentang hidup dan menikah. Toh tidak selamanya kita akan menjalani hidup yang seperti ini terus kan?

Sunday, March 14, 2010

Quarter-life crisis, is it okay?

Beberapa hari yang lalu seorang sahabat mengirimkan sebuah sms. Katanya dia bingung dengan apa yang dia lakukan sekarang. Semuanya terasa sia-sia. Di usia 25 tahun, semuanya terasa membingungkan. Mengenai apa dan bagaimana dia menjalani masa depannya. Posisinya saat ini? Sedang mengambil kuliah S2 di kampus bergengsi di Yogyakarta dengan jalur beasiswa. Sebelum itu dia menolak lamaran untuk bekerja di dalam bank nasional. Itu baru sedikit catatan rekor dalam kehidupannya. Lantas mengapa dia mesti bingung dan takut dengan kehidupannya?



Setahun yang lalu pun saya berada di titik yang sama dengannya. Ketika label “fresh graduate” masih menempel di jidat dengan sangat segarnya. Walaupun saya sudah memiliki posisi dalam sebuah perusahaan sebagai marketing, tetap saja pertanyaan itu terus merongrong saya dari dalam. Mau jadi apa saya setahun kemudian? Bagaimana nasib saya kalau perusahaan ini tiba-tiba colaps? Bagaimana ini, bagaimana itu, sehingga saya merasa tanggung dan tidak nyaman menjalani hari demi hari di posisi tersebut.

Barulah seorang teman yang menyadarkanku tentang apa yang terjadi. Seseorang dengan usia yang dewasa dan pengalaman yang lebih banyak. Apa yang bisa terjadi pada seseorang di umur 24, 25, atau 26 tahun. Quarter life crisis. Sebuah barang dan kosa kata baru dalam kehidupanku.

Kenapa mesti dalam usia seperti itu? Barulah saya mengingat pelajaran dalam konteks psikologi sewaktu mengerjakan sang skripsi tercinta, bahwa usia 16 dan 17 tahun merupakan usia seseorang dalam mencari jati dirinya. Ketika dia memilih dengan siapa dia berteman dan bagaimana dia menjalani hari-harinya.

Nah, lantas di usia 24 inilah seseorang sudah mulai memasuki fase kemapanan. Dimana perbandingan terus terjadi dalam kehidupannya, “kenapa hidup saya tidak seperti miliknya?”, “kenapa kerjaan saya tidak seperti miliknya?”. Ditambah lagi hubungan relasi dengan seseorang, dalam hal ini pacar atau suami, yang mungkin belum dimiliki. Sehingga lengkaplah sudah penderitaan. Dimana dia harus berjuang sendirian untuk mencari kemapanan.

Twenty and thirtysomethings are reluctant (or unable) to save for their futures. Only half are saving for a pension and of those half think they’re not paying enough, according to research by pensions provider Standard Life. (Wikipedia)

Seperti yang dijelaskan oleh nona Wikipedia, sebenarnya masalah yang terjadi sangat sederhana. Ketika kita secara tidak langsung membandingkan hidup kita dengan orang lain. Ketika melihat orang lain sukses, kita langsung merasa bahwa apa yang kita kerjakan tidak ada apa-apanya. Saya mengingat perkataan Mario Teguh, “jangan pernah berjalan dengan menggunakan sepatu orang lain”. Mengapa? Belum tentu sepatu tersebut cocok dengan ukuran kaki kita, belum tentu cocok dengan style kita. Jadi mengapa harus memaksakan diri?

Okelah, rasanya sangat tidak adil saya berkata ini sekarang. Posisi saya sudah berada di titik aman. Memiliki pekerjaan yang bisa menjaminku sampai anak cucu kelak, tapi hey, bukankah sudah saya katakana sebelumnya? Saya juga pernah berada di fase itu dan saya masih cukup kuat untuk melewatinya.

Apakah sang teman tidak sadar ada jutaan orang yang ingin berada di posisinya yang sekarang? Menikmati kuliah di kampus bergengsi? Padahal belum tentu sarjana yang lain memiliki kesempatan yang sama. Bahkan beberapa orang memiliki nasib yang lebih buruk. Sebenarnya sederhana, jangan selalu melihat ke atas, bisa saja lehermu akan pegal dan sakit. Cobalah melihat ke bawah. Melihat kenyataan yang ada dari sudut pandang yang berbeda.

Pada akhirnya bagi mereka yang akan memasuki usia seperti itu, silahkan persiapkan diri. Mau tidak mau dilemma itu pasti terjadi, sehingga ketika saatnya tiba kamu bisa melewatinya. :D

Sometimes silence can seem so loud, There are miracles in life I must achieve, But first I know it starts inside of me (R. kelly - I Believe I Can Fly)

*nb : I know you can handle it sist,

Wednesday, February 17, 2010

Halo apa kabar?

Makassar, 17 Februari 2010

Halo apa kabar? Entah sudah berapa jam sejak sms terakhir kamu saya terima. Ada sesak yang sangat mengentak ketika kau menanyakan itu, “apakah kamu adalah orang yang tepat buat saya?”

Saya selalu berpendapat bahwa “percaya” adalah hal yang paling penting dalam hidup. Mau jadi apa kita kalau sudah tidak dipercayai lagi? Dari dulupun hal yang satu ini yang selalu saya jaga. Tapi untukmu rasanya percaya itu sudah tidak ada lagi untukku. Saya tidak menyalahkanmu, Karena memang apa yang dulu saya lakukan tidak benar. Saya beruntung masih diberi kesempatan kedua. Tapi sepertinya hal itu tidak bertahan lama, apa boleh buat.

Sekarang siapa yang naïf? Sepertinya pertanyaan itu sekarang ditujukan ke saya. Apakah saya pantas memiliki dirimu? Apakah memang kita ditakdirkan bersama? Ada 3 kali kau menanyakan hal itu kepadaku. Dan tampaknya saya pun mulai menanyakan hal yang sama. Apakah memang jalan ini sekarang masih milik kita?



Seorang teman pernah bertanya, “mengapa dia menjadi orang yang sepertinya sangat spesial?”, saya hanya bisa tersenyum kepadanya tanpa dia pernah tahu apa yang membuatmu begitu spesial. Tapi khusus untukmu, saya akan mengatakannya. Mengapa kau sangat berarti.

Apakah kau masih ingat hari itu? Jumat di penghujung November? Berbekal sms dan chat yang terus menerus. Kau yang hendak pulang dan kehujanan. Siapa sih dirimu sampai saya mau care begitu penting? Tapi itulah kau. Segala hukum dasar yang berlaku padaku, langsung luluh lantak. Saya yang tidak terlalu peduli dengan orang-orang disekitarku, berubah menjadi sosok yang berbeda. Hanya kau dan kau yang saya pikirkan.

Bisa saja kau mengatakannya gombal. Ingatkah kau pada malam malam kita bercerita? Tentang kamu, tentang saya, tentang apa saja. Tidak pernah saya seterbuka itu dengan orang lain. Hanya dengan kamu. Tapi sepertinya itu hanyalah cerita di masa lalu saja.

Satu yang tidak pernah bisa aku lupakan adalah kau yang menemaniku di titik terlemahku. Ketika saya bukan siapa siapa dan tidak mempunyai apa apa. Tidak ada yang bisa kujanjikan selain cerita cinta dan bahagia seperti di novel novel itu. Tapi sayangnya hidup ini tidak seperti cerita yang sering kit a baca. Yang selalu berakhir bahagia. Tapi rasanya saya sudah bisa menebak dan mencoba melihat kemana kita akan melangkah. Kau yang menemaniku melalui pengumuman tes, salah satu titik penting dalam hidupku. Kau yang mau menerimaku apa adanya. Bagaimana caranya saya akan melupakanmu?

Dengan segala rindu yang masih tersimpan aku hanya ingin berkata, aku sangat rindu kepadamu. Apakah kau merasa hal yang sama? Entahlah. Karena saat ini aku tak bisa lagi meraba hatimu. Sosokmu menjadi asing. Ketika kau terus bertanya, “apakah kita bisa terus bersama”.

Pada akhirnya kita memang harus mengambil keputusan. Tidak mengambang tanpa ada status hubungan yang jelas. Agar kita sama sama merasa lagi. Mendefenisikan kembali bagaimana bentuk hubungan kita. Apakah kau memang ingin pergi dariku? Apakah memang hadirku sudah tidak bisa lagi menenangkanmu? Apakah memang kita hanya bisa menjadi adik dan kakak. Terikat hanya dengan perhatian tanpa embel embel cinta.

Setidaknya jangan sampai kita menyiksa hidup kita sendiri. Setelah ini saya memberikan keputusan kepada kamu. Apakah memang saya tidak usah menghubungimu lagi. Apakah memang saya tidak bisa berada dalam hidupmu lagi. Entah hanya sebagai kakak atau hanya sebagai sahabat untuk saat ini. Karena kalau bertanya kepada saya, “apakah saya masih mau berada dalam kehidupan kamu?” hanya satu jawaban saya. IYA.

Berarti sampai disinilah saya berdiri. Sambil terus melihatmu meraih mimpi. Mungkin saya hanya bisa menjadi seorang kakak. Menjadi seorang sahabat. Entahlah. Itupun kalau memang kamu masih menginginkan saya ada di dalam kehidupan kamu. Baik baik yah! Saya hanya bisa menulis ini karena tidak sanggup berbicara denganmu di telepon. Inilah perasaanku yang sekarang.

Love you always,
Your lovely bear.
iQko.

Saturday, January 23, 2010

Satu Dekade Ininnawa, Lomba Resensi Buku dan sebagainya.

Inilah sebagian jejak kami. Sebagai sebuah komunitas, umur 10 tahun bukanlah waktu yang singkat. Dalam rangka (ya olo!) peringatan satu dekade komunitas tercinta ini, silahkan ikut Lomba Resensi Penerbit Ininnawa!



Lomba Resensi Penerbit Ininnawa


Peserta

Terbuka untuk mahasiswa [S1 dan sederajat] se-Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.

Total Hadiah Senilai Rp. 5.000.000
[Uang Tunai + Paket Buku Ininnawa + Paket Buku Graha Media + Voucher Belanja Buku]


Ketentuan

I. Karya asli; bukan jiplakan.

II. Peserta meresensi buku yang ditentukan oleh panitia dan tim juri, yaitu:

1. Perkawinan Bugis: Refleksi Status Sosial dan Budaya di Baliknya (Ininnawa, Desember 2009)

2. Kuasa Berkat dari Belantara dan Langit: Struktur dan Transformasi Agama Orang Toraja di Mamasa, Sulawesi Barat (Ininnawa-KITLV Jakarta, November 2009)

3. Kekuasaan Raja, Syeikh, dan Ambtenaar: Pengetahuan Simbolik dan Kekuasaan Tradisional Makassar 1300-2000 (Ininnawa, Mei 2009)

4. Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan (Ininnawa-KITLV Jakarta, Maret 2009)

III. Melampirkan fotokopi kartu tanda pengenal/mahasiswa.

IV. Peserta mengirim via email ke

saintjimpe@gmail.com atau lelakibugis@gmail.com atau m.aan.mansyur@gmail.com


atau mengirim/mengantar langsung ke:

Penerbit Ininnawa
Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E
Makassar 90234


Batas waktu : Karya peserta paling lambat dikirim tanggal 5 Februari 2010 (cap pos).


Pemenang akan diumumkan di acara peluncuran buku pada pukul. 09.00 Wita tanggal 12 Februari 2010, di Komunitas Ininnawa, Jl Perintis Kemerdekaan Km-9 90245.


Pelaksana

Penerbit Ininnawa
Toko Buku Graha Media

Tuesday, January 19, 2010

How’s life, Mr. Beruang?

Rasanya memang pertanyaan itu yang paling sering berkeliaran dan terucapkan dalam keseharian. Entah itu ditujukan untuk diri sendiri, atau untuk para sahabat. Sekedar bertukar sapa dan bertukar kabar. Bagaimana hidup menyapa kalian saat ini?



Kalau pertanyaan itu ditujukan kepada saya, saya hanya bisa menjawab,

“mungkin tidak ada lagi keadaaan yang lebih baik dari ini. Yang paling susah dalam hidup adalah bagaimana bisa bersyukur, sekecil apapun nikmat yang didapatkan. Termasuk pekerjaan”


Ya pekerjaan. Masih banyak orang yang tidak bisa menyangka. Hah? Saya? Berakhir sebagai abdi Negara? Sebuah profesi yang dulunya bahkan sempat saya cela setengah mati. Dengan tekad tidak akan melanjutkan kutukan Pe-En-Es di dalam keluarga. Secara bapak, kakak, dan adek sudah memiliki NIP nya masing-masing.

Tapi begitulah jalan hidup. There’s no one know what scenario that we gonna run tomorrow. Saya selalu ingat apa yang dikatakan oleh seorang Bapak ketika saya melakukan registrasi ulang,

“yang namanya rejeki tidak akan jatuh kemana. Semuanya sudah diatur. Kalau rejeki kita memang hanya secangkir, sekeras apapun kita mengupayakannya untuk menjadi satu ember, tetap ember itu akan tumpah dan hanya menyisakan satu cangkir saja”


Inilah yang paling menyita kehidupanku sekarang. Belajar untuk settle down, tidak melihat ke kanan dan ke kiri lagi. Bagaimana pun juga, hidup inilah yang akan dijalani sampai hari tua. Amin.

Friday, January 1, 2010

Sebuah cerita tentang dia.

Rasanya sudah lama saya tidak bercerita mengenai kisah cinta. Sebuah rasa yang saya pikir telah lama menghilang. Tapi bukankah itu berarti saya melanggar kodrat sebagai manusia? Karena mencinta merupakan sifat dasar yang telah menjadi bawaan dan akan selalu ada.



Setiap saat ada orang yang bertanya, “mengapa tidak menjalin dan membuka sebuah hubungan baru?”,

jawaban saya selalu sama,

“untuk apa? Ada banyak sahabat dan teman yang bisa saya ajak berbagi. Sahabat yang selalu mengerti, sahabat yang selalu ada”

Tapi rasanya jawaban itu hanya berlaku beberapa tahun yang lalu. Disaat semua sepi bisa tertutupi oleh rutinitas di kampus, riuhnya tawa bersama teman, atau lelahnya pikiran karena organisasi. Sepi itu tidak pernah menyeruak ke alam sadar. Toh, walalupun sepi itu datang menyerang, ada seribu alasan untuk langsung menimbunnya dalam-dalam.

Memang selama beberapa rentan waktu yang lalu, selalu ada orang bermain di dalam perasaan. Rasa ingin memiliki dan dimiliki juga ada. Tapi rupanya kecewa masih menjadi jawabanya. Mereka hanya ingin melihat apa yang mereka mau. Tanpa memikirkan beginilah saya apa adanya. Akhirnya mereka hanya menjadikan hati saya sebagai tempat sampah. Yang akhirnya mematikan perasaan ingin mencinta itu.

Sekarang keadaan berkata lain. Semua orang telah berdewasa. Sahabat-sahabat yang bersama saya telah memasuki kehidupannya masing-masing. Kami dulu yang begitu sering berkumpul, tertawa, makan bersama, sudah terpisah. Saya yang menemani mereka menemukan cinta sampai kehilangan cinta juga. Saya yang terus berdiri sendiri. Tanpa sadar ternyata rasa sepi itu semakin mencekam dan membesar setiap hari.

Sampai akhirnya datanglah dia. Yang kedatangannya bersama sang hujan. Saya masih ingat hari itu. Hari jumat, jam 10 pagi. Saya melihat senyumnya. Saya melihat sesuatu yang spesial didirinya. Dan memang benar adanya, hati yang saya kiranya sudah mati, ternyata bisa tergerak melihatnya. Perhatian yang saya pikir hanya bisa saya berikan untuk diri sendiri, mengalir secara alami untuk dia. Memikirkan bagaimana dia menjalani hari, bagaimana dia melakukan semua aktivitas, dan bagaimana kami memulai sebuah hubungan. Semuanya begitu alami, dan saya yakin dialah yang saya tunggu selama ini.

Sebuah perjalanan yang sarat emosi ketika waktu saya habiskan bersamanya. Ada begitu banyak teman dan sahabat yang bertanya,

“siapa yang bisa menaklukkan hati seorang iqko? Yang selalu sinis terhadap semua hal yang berbau cinta?”

Saya hanya bisa mengulum senyum dan menjawabnya, “hanya dia. Dia, dan dia.”

Dia yang menemaniku ketika sedih, dia yang menemaniku ketika gundah meraja. Saya pun berusaha terus mengenal dia dan berusaha menjadikannya sebagai pusat semesta. Ada begitu banyak janji yang terucap, ada begitu banyak kenangan yang telah terbuat.
Rupanya perasaan sepi tidak mau ditinggalkan begitu saja. Dia begitu marah ditinggalkan di pojok kenangan. Hampa dan tidak berlaku lagi. Sang sepi mulai bertindak, memainkan perasaan dan memainkan kenangan.

Pertanyaan itupun akhirnya menyeruak kedalam alam pikiran, “pantaskah saya dicintai sebesar itu? Pantaskah saya menjadi pusat semestanya?”

Kali ini ternyata sepi berhasil menang. Rasa rendah diri dan rasa tidak percaya kembali meraja. Ketakutan akan kehilangan dia setiap hari semakin membesar. Padahal orang bijak selalu berkata, “ketika suatu ketakutan semakin terpikirkan setiap hari, maka hal itu pasti terjadi”. Ternyata hal itu benar. Saya pun melakukan kesalahan itu. Kesalahan yang sama dimasa lalu. Tidak percaya saya pantas dicinta olehnya dan ingin sendiri lagi.

Kini satu cerita sudah berakhir. Meninggalkan sepi sebagai pemenang. Dan saya harus kehilangan dia. Tanpa dia pernah tahu, ada banyak tempat yang terekam tentangnya, ada banyak lagu yang mengingatkan tentangnya, ada banyak kenangan mengenai dirinya. Apakah saya yang salah? Untuk saat ini jawabannya tentu saja iya. Karena saya belum belajar berdewasa. Belajar melawan sepi. Melawan pikiran dalam diri sendiri. Tidak pernah menghargai dia yang begitu sayang dan percaya dengan saya.

Saya masih ingat satu baris kalimat untuknya, “saya akan belajar berdewasa untukmu. Sampai suatu saat kesalahan itu bisa saya perbaiki dan bahagia menjadi milik kita lagi”.

Tidak ada lagi kata kita. Hanya aku dan dia. Saya dan kamu. Tapi saya percaya, semuanya dimulai dari awal lagi. Saya percaya, masih ada terang yang menanti di hari esok.

My Ping in TotalPing.com