Sunday, March 14, 2010

Quarter-life crisis, is it okay?

Beberapa hari yang lalu seorang sahabat mengirimkan sebuah sms. Katanya dia bingung dengan apa yang dia lakukan sekarang. Semuanya terasa sia-sia. Di usia 25 tahun, semuanya terasa membingungkan. Mengenai apa dan bagaimana dia menjalani masa depannya. Posisinya saat ini? Sedang mengambil kuliah S2 di kampus bergengsi di Yogyakarta dengan jalur beasiswa. Sebelum itu dia menolak lamaran untuk bekerja di dalam bank nasional. Itu baru sedikit catatan rekor dalam kehidupannya. Lantas mengapa dia mesti bingung dan takut dengan kehidupannya?



Setahun yang lalu pun saya berada di titik yang sama dengannya. Ketika label “fresh graduate” masih menempel di jidat dengan sangat segarnya. Walaupun saya sudah memiliki posisi dalam sebuah perusahaan sebagai marketing, tetap saja pertanyaan itu terus merongrong saya dari dalam. Mau jadi apa saya setahun kemudian? Bagaimana nasib saya kalau perusahaan ini tiba-tiba colaps? Bagaimana ini, bagaimana itu, sehingga saya merasa tanggung dan tidak nyaman menjalani hari demi hari di posisi tersebut.

Barulah seorang teman yang menyadarkanku tentang apa yang terjadi. Seseorang dengan usia yang dewasa dan pengalaman yang lebih banyak. Apa yang bisa terjadi pada seseorang di umur 24, 25, atau 26 tahun. Quarter life crisis. Sebuah barang dan kosa kata baru dalam kehidupanku.

Kenapa mesti dalam usia seperti itu? Barulah saya mengingat pelajaran dalam konteks psikologi sewaktu mengerjakan sang skripsi tercinta, bahwa usia 16 dan 17 tahun merupakan usia seseorang dalam mencari jati dirinya. Ketika dia memilih dengan siapa dia berteman dan bagaimana dia menjalani hari-harinya.

Nah, lantas di usia 24 inilah seseorang sudah mulai memasuki fase kemapanan. Dimana perbandingan terus terjadi dalam kehidupannya, “kenapa hidup saya tidak seperti miliknya?”, “kenapa kerjaan saya tidak seperti miliknya?”. Ditambah lagi hubungan relasi dengan seseorang, dalam hal ini pacar atau suami, yang mungkin belum dimiliki. Sehingga lengkaplah sudah penderitaan. Dimana dia harus berjuang sendirian untuk mencari kemapanan.

Twenty and thirtysomethings are reluctant (or unable) to save for their futures. Only half are saving for a pension and of those half think they’re not paying enough, according to research by pensions provider Standard Life. (Wikipedia)

Seperti yang dijelaskan oleh nona Wikipedia, sebenarnya masalah yang terjadi sangat sederhana. Ketika kita secara tidak langsung membandingkan hidup kita dengan orang lain. Ketika melihat orang lain sukses, kita langsung merasa bahwa apa yang kita kerjakan tidak ada apa-apanya. Saya mengingat perkataan Mario Teguh, “jangan pernah berjalan dengan menggunakan sepatu orang lain”. Mengapa? Belum tentu sepatu tersebut cocok dengan ukuran kaki kita, belum tentu cocok dengan style kita. Jadi mengapa harus memaksakan diri?

Okelah, rasanya sangat tidak adil saya berkata ini sekarang. Posisi saya sudah berada di titik aman. Memiliki pekerjaan yang bisa menjaminku sampai anak cucu kelak, tapi hey, bukankah sudah saya katakana sebelumnya? Saya juga pernah berada di fase itu dan saya masih cukup kuat untuk melewatinya.

Apakah sang teman tidak sadar ada jutaan orang yang ingin berada di posisinya yang sekarang? Menikmati kuliah di kampus bergengsi? Padahal belum tentu sarjana yang lain memiliki kesempatan yang sama. Bahkan beberapa orang memiliki nasib yang lebih buruk. Sebenarnya sederhana, jangan selalu melihat ke atas, bisa saja lehermu akan pegal dan sakit. Cobalah melihat ke bawah. Melihat kenyataan yang ada dari sudut pandang yang berbeda.

Pada akhirnya bagi mereka yang akan memasuki usia seperti itu, silahkan persiapkan diri. Mau tidak mau dilemma itu pasti terjadi, sehingga ketika saatnya tiba kamu bisa melewatinya. :D

Sometimes silence can seem so loud, There are miracles in life I must achieve, But first I know it starts inside of me (R. kelly - I Believe I Can Fly)

*nb : I know you can handle it sist,

No comments:

Post a Comment

My Ping in TotalPing.com