Thursday, March 18, 2010

What will (kills) the radio star?

Saya sedikit tersenyum ketika kemarin membaca beberapa status teman-teman saya di FB. Dari bagaimana kemacetan melanda, hujan, bahkan status terbaru tentang skala percintaan mereka. Satu yang paling menarik perhatianku adalah status dari mantan salah seorang penyiar radio remaja di Makassar. Statusnya seperti ini,

“Sore-sore begini enaknya ngapain yah? Dengarkan saja radio Ma**ma, we have trainee kiddos for you”

Dalam hati saya berkata,

“wah mereka sudah punya anak baru lagi?”.


“Anak baru”. Yah, seperti itulah kami memberikan julukan, nama, atau apalah istilahnya untuk mereka yang mau menjual jiwa mereka menjadi penyiar radio. Saya masih ingat ketika di tahun 2003, saya nekat untuk memasukkan lamaran dan CV saya sebagai penyiar juga. Bersaing dengan hampir 50 orang untuk mengisi satu slot siaran. Hasilnya? Pengalaman yang sangat menyenangkan.



Nah, kembali ke masalah penyiar baru tadi. Saya kemudian berpikir apakah mereka akan sanggup tampil beda dan berjuang sampai memiliki nama? Karena keadaan sekarang berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Apalagi untuk segmentasi yang menyasar anak muda. Kenapa? Segmen ini sangat cair. Mereka sangat mudah disetir seleranya. Apalagi ketika mereka bergabung dalam sebuah geng ataupun sekte. Dimana keseragaman menjadi aturan utamanya.

Seorang penyiar bisa menjadi “local celebrity”. Siapa yang tidak akan menghapal nama kamu ketika kau tidak henti-hentinya berbicara dari pukul 6 pagi sampai pukul 9 pagi? Ataupun dari pukul 7 sampai pukul 10 malam? Seorang penyiar radio bahkan bisa menjadi sahabat yang paling dekat. Memasuki ruang intim pribadimu. Laki-laki mana yang berani memasuki kamar seorang cewek di atas jam 10 malam? Walaupun hanya dalam bentuk suara.

Radio menjadi teman ketika ngobrol bersama teman, menjadi teman belajar, bahkan saya pernah merasakan bagaimana deg-degan nya menunggu request-an saya diputar oleh sang empunya acara. Coba saja menelepon Satu acara di jam prime time (jam pagi, tengah hari ataupun malam hari), entah itu sekedar request ataupun ikut ngobrol, pastilah jarimu akan gemas menekan tombol telepon. Saking banyaknya orang yang ingin menelepon. Apakah hal ini masih berlangsung sama?

Beberapa tahun lalu ketika distraksi perhatian belum sebanyak sekarang, radio bisa menjadi sarana hiburan utama (atau bahkan menjadi media utama) bersanding dengan televisi dan koran. Sekarang? Ada aneka ria jejaring sosial. Dimana ketika beberapa remaja berkumpul, dengan laptop dan koneksi internet, mereka justru lebih nyambung dan nyaman ngobrol dengan fasilitas chat. Aneh. Belum lagi aneka mall yang terus bertambah. Secara tidak langsung ini merubah pola hidup mereka yang lebih banyak bersentuhan dengan dunia luar. Apakah mereka masih memiliki waktu untuk mendengarkan radio?

Ada lagi ada satu juta situs yang tersedia di internet untuk mengunduh lagu secara gratis. Mp3 bajakan di bertebaran dimana-mana.

“untuk apa menunggui sebuah acara di radio hanya untuk mendengarkan sebuah lagu? Toh saya sudah punya lengkap koleksi albumnya.”


Bisa saja pertanyaan itu yang muncul. Ketika era Mp3 bertebaran dimana-mana. Sekarang ketika kita sedang dikuasai pop Indonesia, bahkan televisi pun tidak mau ketinggalan merasakan fenomena ini. Berlomba-lombalah mereka mencari presenter yang cantik, menarik, lucu, yang bahkan tidak jelas mereka melawak ataukah membawakan suatu acara. Semakin terdistraksi lah lagi pendengar radio.

Semakin menariklah bagaimana seorang penyiar (radio) harus bisa terus survive dimasa sekarang. Dimana mereka tidak hanya mengandalkan musik dan lagu terbaru saja sebagai senjata utama. Karena hal tersebut sudah semakin mudah didapat. Mereka harus memilki style dan gaya sendiri. Supaya mereka tetap bisa di notice dan menjadi “local celebrity” berikutnya. Selamat berjuang guys!

No comments:

Post a Comment

My Ping in TotalPing.com