Sebuah email datang dari seorang teman semasa SMA. Undangan pernikahan yang akan dilakukan di kota sebelah. Semua teman merespon, semua teman memberi selamat dan mendoakan (termasuk saya tentu saja!) dan semua teman kemudian memberikan satu pertanyaan,
“yang lain kapan menyusul?”Eh buset, dikiranya menikah suatu lomba? Maka berbondong-bondonglah semua tangkisan keluar dari kami para single fighter yang hina dina ini. Kami yang kastanya satu tingkat dibawah mereka yang telah menikah dan dua tingkat dibawah mereka yang telah menikah dan memiliki anak. Sampai kapan piramida ini akan berakhir?
Sampai akhirnya saya merasa jengah dengan proses kompor dan mengompori ini. Hahahaha, seperti biasa, satu perkataanku mampu membuat milis senyap seketika. Seperti ketika seseorang kedapatan sedang kentut di tengah pidato presiden.
“Menikah itu bukan perlombaan, siapa yang paling cepat dia yang jadi juara”Ah, kenapa saya menjadi sesinis dan sesarkas ini lagi yah? Padahal saya sudah berniat bahwa tahun ini saya ingin melihat dunia dengan lebih ramah lagi. Melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Tapi apa mau dikata, kalau masalah yang satu ini, sepertinya lebih penting daripada perang antara Korea Utara dan Korea Selatan. Lebih penting apakah saya mau ditawari jadi personel tambahan buat SM*SH atau tidak.
Kapan menikah? Yak, umur dua puluh sekian semestinya sudah memikirkan tentang ini. Terkadang saya IRI melihat mereka, yang seumuran bahkan lebih muda dari saya telah berani mengambil keputusan untuk berkeluarga. Mengambil keputusan bahwa hidup ini lebih indah dinikmati bersama pasangan. Sementara saya?
Sebenarnya kalau memang ingin flashback, ada banyak hal yang membuat mengapa opini-belum-mau-menikah tidak pernah terlintas. Orang tua yang terlalu membebaskan menjadi alasan utama. Karena sedari dulu kami bersaudara telah diajarkan untuk mengambil keputusan dan menerima konsekuensi keputusan itu sendiri. Sampai pada akhirnya, mereka tidak punya otoritas untuk menanyakan hal-hal pribadi. Mengerikan? Ketika kau harus mengurus hidupmu sendiri selama 25 tahun, percayalah hal itu menjadi masuk akal.
Saya bersyukur (atau justru bernasib malang?) dulu bergaul, bekerja dengan para insan kreatif. Bagi kami sendiri adalah kebebasan. Sendiri adalah mengekspresikan diri tanpa mengganggu siapapun juga, sampai akhirnya diri sendiri merasa nyaman dan masih merasa sungkan untuk memiliki seseorang untuk berbagi. Menyedihkan? Iya, kala kau masuk di lingkungan konservatif yang setiap hari melihatmu dengan pandangan, “25 TAHUN SUDAH PUNYA KERJAAN TAPI BELUM MENIKAH, KAMU MAU JADI APA?”
Begitulah. Tapi saya tidak mungkin menyalahkan itu semua. Toh saya dalam keadaan sadar dan tidak dibawah todongan senjata untuk mengambil semua keputusan-keputusan itu. Saya telah berbincang banyak tentang masalah ini dengan beberapa sahabat. Mereka para single fighter yang memiliki masalah yang sama. Dan jawabannya tentu saja sederhana, “kami belum siap”.
Toh kalaupun ada yang menjudge dan berkata, kalau menunggu siap atau tidak pasti tidak akan pernah tercapai, maka saya cuma bisa mengatakan. “maaf ini hidup saya. Saya berencana menikah 3 atau 4 tahun lagi. Ketika saya telah siap menikah dan mempunyai CALON untuk diajak menikah”
Yah itu dia alasan utamanya. Sekian.
No comments:
Post a Comment