Rasanya sudah lama saya tidak bercerita mengenai kisah cinta. Sebuah rasa yang saya pikir telah lama menghilang. Tapi bukankah itu berarti saya melanggar kodrat sebagai manusia? Karena mencinta merupakan sifat dasar yang telah menjadi bawaan dan akan selalu ada.
Setiap saat ada orang yang bertanya, “mengapa tidak menjalin dan membuka sebuah hubungan baru?”,
jawaban saya selalu sama,
“untuk apa? Ada banyak sahabat dan teman yang bisa saya ajak berbagi. Sahabat yang selalu mengerti, sahabat yang selalu ada”
Tapi rasanya jawaban itu hanya berlaku beberapa tahun yang lalu. Disaat semua sepi bisa tertutupi oleh rutinitas di kampus, riuhnya tawa bersama teman, atau lelahnya pikiran karena organisasi. Sepi itu tidak pernah menyeruak ke alam sadar. Toh, walalupun sepi itu datang menyerang, ada seribu alasan untuk langsung menimbunnya dalam-dalam.
Memang selama beberapa rentan waktu yang lalu, selalu ada orang bermain di dalam perasaan. Rasa ingin memiliki dan dimiliki juga ada. Tapi rupanya kecewa masih menjadi jawabanya. Mereka hanya ingin melihat apa yang mereka mau. Tanpa memikirkan beginilah saya apa adanya. Akhirnya mereka hanya menjadikan hati saya sebagai tempat sampah. Yang akhirnya mematikan perasaan ingin mencinta itu.
Sekarang keadaan berkata lain. Semua orang telah berdewasa. Sahabat-sahabat yang bersama saya telah memasuki kehidupannya masing-masing. Kami dulu yang begitu sering berkumpul, tertawa, makan bersama, sudah terpisah. Saya yang menemani mereka menemukan cinta sampai kehilangan cinta juga. Saya yang terus berdiri sendiri. Tanpa sadar ternyata rasa sepi itu semakin mencekam dan membesar setiap hari.
Sampai akhirnya datanglah dia. Yang kedatangannya bersama sang hujan. Saya masih ingat hari itu. Hari jumat, jam 10 pagi. Saya melihat senyumnya. Saya melihat sesuatu yang spesial didirinya. Dan memang benar adanya, hati yang saya kiranya sudah mati, ternyata bisa tergerak melihatnya. Perhatian yang saya pikir hanya bisa saya berikan untuk diri sendiri, mengalir secara alami untuk dia. Memikirkan bagaimana dia menjalani hari, bagaimana dia melakukan semua aktivitas, dan bagaimana kami memulai sebuah hubungan. Semuanya begitu alami, dan saya yakin dialah yang saya tunggu selama ini.
Sebuah perjalanan yang sarat emosi ketika waktu saya habiskan bersamanya. Ada begitu banyak teman dan sahabat yang bertanya,
“siapa yang bisa menaklukkan hati seorang iqko? Yang selalu sinis terhadap semua hal yang berbau cinta?”
Saya hanya bisa mengulum senyum dan menjawabnya, “hanya dia. Dia, dan dia.”
Dia yang menemaniku ketika sedih, dia yang menemaniku ketika gundah meraja. Saya pun berusaha terus mengenal dia dan berusaha menjadikannya sebagai pusat semesta. Ada begitu banyak janji yang terucap, ada begitu banyak kenangan yang telah terbuat.
Rupanya perasaan sepi tidak mau ditinggalkan begitu saja. Dia begitu marah ditinggalkan di pojok kenangan. Hampa dan tidak berlaku lagi. Sang sepi mulai bertindak, memainkan perasaan dan memainkan kenangan.
Pertanyaan itupun akhirnya menyeruak kedalam alam pikiran, “pantaskah saya dicintai sebesar itu? Pantaskah saya menjadi pusat semestanya?”
Kali ini ternyata sepi berhasil menang. Rasa rendah diri dan rasa tidak percaya kembali meraja. Ketakutan akan kehilangan dia setiap hari semakin membesar. Padahal orang bijak selalu berkata, “ketika suatu ketakutan semakin terpikirkan setiap hari, maka hal itu pasti terjadi”. Ternyata hal itu benar. Saya pun melakukan kesalahan itu. Kesalahan yang sama dimasa lalu. Tidak percaya saya pantas dicinta olehnya dan ingin sendiri lagi.
Kini satu cerita sudah berakhir. Meninggalkan sepi sebagai pemenang. Dan saya harus kehilangan dia. Tanpa dia pernah tahu, ada banyak tempat yang terekam tentangnya, ada banyak lagu yang mengingatkan tentangnya, ada banyak kenangan mengenai dirinya. Apakah saya yang salah? Untuk saat ini jawabannya tentu saja iya. Karena saya belum belajar berdewasa. Belajar melawan sepi. Melawan pikiran dalam diri sendiri. Tidak pernah menghargai dia yang begitu sayang dan percaya dengan saya.
Saya masih ingat satu baris kalimat untuknya, “saya akan belajar berdewasa untukmu. Sampai suatu saat kesalahan itu bisa saya perbaiki dan bahagia menjadi milik kita lagi”.
Tidak ada lagi kata kita. Hanya aku dan dia. Saya dan kamu. Tapi saya percaya, semuanya dimulai dari awal lagi. Saya percaya, masih ada terang yang menanti di hari esok.
Friday, January 1, 2010
Sebuah cerita tentang dia.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment