Siapakah yang akan kau pilih ketika berada dalam poisisi seorang orang tua, anak yang sakit atau anak yang sehat dan dipaksa sakit hanya untuk menyelamatkan nyawa sang kakak. Caranya? Dengan menyumbangkan dan memberikan organ tubuh untuk tetap menjaga kelangsungan kehidupan sang kakak dengan melakukan operasi demi operasi.
Film ini merupakan sebuah saduran dari buku Jodie Picoult dengan judul yang sama. Bagaimana jalan ceritanya? Silahkan simak di postingan yang ini. Kali ini melalui tangan Nick Cassavettes, luapan emosi Anna Fitzgerald dalam menuntut keluarganya sendiri akan kita rasakan selama perjalanan film ini. Tapi sayang seribu sayang, saya mesti mengatakan bahwa film ini GAGAL!!!
Kenapa? Bukan permasalahan interpretasi, saya tahu bahwa film dan buku adalah dua media yang berbeda. Kita tidak boleh membawa imajinasi kita ketika menyaksikan sebuah buku yang difilmkan. Tapi bagaimana kalau ternyata jalan ceritanya terpelintir sedemikian jauh?
Sepertinya inilah yang menimpa film My Sister’s Keeper. Saya langsung merasakan déjà vu dengan film Cat Woman yang dibintangi Halle Berry. Dimana Cat Woman jauh dari gambaran orang-orang. Dan akibatnya apa? Film tersebut dicerca dimana-mana. Beginilah nasib My Sister’s Keeper. Saya sendiri heran, kok film ini bisa-bisanya tidak booming? Mengingat novelnya sangat menguras perasaan dan penuh dengan ending yang tidak tertebak. Sedangkan di filmnya? Holy Shit!!! Bagaimana bisa mereka melakukan hal itu?
Entah saya mesti menyalahkan siapa, apakah Nick Cassavetes selaku sutradara, Jeremy Leven sebagai penulis scenario, ataukah sang empunya buku, Jodie Picoult sendiri? Ada BANYAK poin yang sangat hilang dalam film ini. Peran-peran kecil namun sangat berpengaruh pada jalan cerita dan emosi yang tertuang.
Okelah, mungkin saya telah mengenal cerita ini pertama kali dari bukunya. Saya pun telah menyebutkan dalam postingan yang ini, bahwa kita harus memilih satu saja, antara menonton filmnya saja, atau membaca bukunya saja. Tapi kenapa saya tidak kecewa pada interpretasi yang dilakukan oleh sutradara film Twilight atau film yang disadur dari buku lainnya?
*emosi mode ON
Dari sisi sinematografi, ada banyak gambar cantik yang disuguhkan. Bagaimana alur yang bisa saja menceritakan saat sekarang, mundur ke belakang semuanya bisa dihadirkan dalam takaran yang pas. Tidak terburu-buru. Cara bercerita yang diambil dari sudut pandang masing-masing tokoh pun bisa terekam dengan jelas. Bagaimana sudut pandang mengenai sesuatu bisa saja berbeda ketika dilihat oleh orang yang berbeda.
Akting para bintangnya pun sangat mengagumkan. Cameron Diaz bermain sangat apik. Memainkan emosi seorang ibu yang berusaha melakukan apa saja untuk menyelamatkan anaknya yang terserang leukemia. Salah satu bintang lainnya yang patut diperhatikan adalah Abigail Breslin. Inilah anak yang diramalkan menjadi the next Dakota Fanning. Dengan kemampuan akting yang sangat bagus.
Cuma sayangnya, peran Anna Fitzgerald (tokoh yang diperankannya) sangat minim. Bahkan semua cerita seolah-olah dititik beratkan kepada Kate Fitzgerald. Tapi sebenarnya bukan itu inti ceritanya. Ada banyak hubungan emosional lain yang sepertinya tidak bisa dieksplor dan dieksekusi yang baik. Hubungan antara Jesse Fitzgerald selaku anak pertama dengan kedua orang tuanya, hubungan antara Anna setelah menuntut kedua orangtuanya sendiri, sampai hubungan ajaib antara Anna dan Kate. Semua ini lolos dari ramuan sang sutradara.
Pada akhirnya saya harus mengatakan bahwa saya sangat kecewa dengan film ini. Berbanding terbalik dengan novelnya. Sepertinya memang menghabiskan waktu dengan imajinasi sendiri lebih bagus ketimbang melihat hasil karya orang lain dan hasilnya sangat berbeda.
Monday, January 4, 2010
My Sister’s Keeper, (semestinya) sebuah pelajaran tentang cinta dan kehidupan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment