Saturday, April 24, 2010

Perempuan dan identitasnya.

Ada satu hal menarik yang saya dapatkan ketika menjadi Mc dan mengikuti perayaan Hari Kartini yang dilakukan oleh ibu-ibu Dharma Wanita di kantor hari selasa dan rabu kemarin. Benarkah perempuan akan kehilangan identitasnya ketika sudah menikah?

Bukan, ini bukan pertanyaan sesinis dan sesarkastis yang seperti biasa saya lontarkan. Hanya sedikit perasaan tergelitik saja. Bahwa seorang perempuan akan kehilangan nama sebenarnya ketika telah menikah. Memangnya salah?

Satu moment menarik ketika saya menjadi Mc acara tersebut adalah ketika ingin mempersilahkan Ketua Dharma Wanita Persatuan untuk memberikan kata sambutannya. Sayapun bertanya pada salah satu wanita, nama lengkapnya siapa? Jawaban yang saya terima cukup sederhana namun cukup menohok. Tidak usah menggunakan nama aslinya. Cukup memanggilnya dengan Ny. Xyz saja. What?



Bukankah setiap orang sudah memiliki nama indahnya masing-masing? Walaupun seorang penyair pernah berkata apalah arti sebuah nama, tapi tetap saya menganggap bahwa nama adalah sebuah identitas yang penting. Dalam sebuah nama terdapat doa-doa para orangtua. Pemberian nama pun tidak sembarangan prosesnya. Butuh satu ekor kambing yang dikorbankan untuk perempuan, dan dua ekor untuk lelaki. Dan nama itu seenaknya mau diubah?

Entahlah, apakah memang ini hanya perasaan saya saja atau bukan. Tapi rasanya memang dimana-mana kita temui kenyataan seperti ini. Misalnya ketika ibu-ibu sedang ngumpul –dan bergosip- biasanya mereka memperkenalkan (atau diperkenalkan) seseorang dengan menyebut nama suami terlebih dahulu. Dan ini akhirnya terbawa sampai nanti. Bahwa seorang perempuan akan lebih akrab dipanggil sebagai Nyonya Andi, Ibu Budi dan sebagainya.

Apakah ini menjadi masalah? Entahlah. Karena saya sendiri belum pernah merasakan nama saya dipanggil memakai nama orang lain. Saya sendiri pasti merasa aneh. Apakah memang karena saya sendiri belum berkeluarga? Dan kenapa harus perempuan yang kehilangan identitasnya? Pernahkah seseorang dipanggil sebagai Tuan Rini atau Bapak Wati misalnya?

Belum lagi ketika seorang perempuan sudah memiliki anak. Namanya akan berubah lagi. Menjadi ibunya iqko, bunda Bila dan lain sebagainya. Apakah ini akah menjadi persaingan tersendiri? Diantara mereka yang lajang, yang biasanya masih dipanggil dengan nama asli, melawan mereka yang sudah menikah, (yang dipanggil dengan nama suami) dan mereka yang sudah menikah dan punya anak (yang dipanggil dengan nama anaknya).

Lantas bagaimana nanti ketika dia cerai (mudah-mudahan tidak!)? Ketika dia sudah dikenal dengan nama suaminya, dan sekarang harus jalan sendiri. Dia dipanggil apa?

Rasanya kehidupan pasca menikah pun seorang perempuan harus dikenal dengan nama aslinya. Tidak perduli nama suami atau nama istrinya nanti sebagus apa. Karena ini terkait mengenai identitas pribadi.

Tidak perlu rasanya mengembel-embeli diri dengan panggilan pasangan, karena toh semuanya punya kehidupan masing-masing? Ataukah saya yang salah melihatnya? Karena setelah menikah nantipun saya akan mengenalkan istri saya sebagai dirinya sendiri. Bukan dengan nama saya.

Selamat Hari Kartini untuk seluruh perempuan, tetap pegang identitasmu, siapapun dirimu :)

No comments:

Post a Comment

My Ping in TotalPing.com